Jumat, 27 April 2012

SEBUAH HARAPAN 


             Aku Akan Buka Wawasan Sejauh Cakrawala, Berfikir Secara Mendunia, Bersikap Secara Konsepsional, Bertindak Sesuai Perintah Sang Pencipta, Berkarya Untuk Semua, Berkorban Demi Bangsa Yangku Cinta, Ikhlas Demi Cita - Cita, Bhakti Untuk Negeri, Berjuang Tanpa Kenal Balas Budi, Tak Mencari Keuntungan Di Dalam Segala Hal, Memegang Teguh Semua Janji, Betindak dan Melakukan Hal-hal Yang Akan di Lakukan Dengan Memikirkannya Terlebih Dahulu,Semoga Itu Bisa Aku Lakukan Dari Hari Ini Dan Seterusnya, Amin_^
will until continue when there is idea a news

Minggu, 15 April 2012

Membangun Karakter Bangsa

Karakter manusia Indonesia ini tidak jatuh dari langit. Karakter ini lahir dan tumbuh karena keadaan yang mendasarinya. Setidaknya beberapa hal yang bisa disebutkan di sini. Pertama: masyarakat Indonesia terkooptasi oleh kebudayaan feodal, jaman kerajaan-kerajaan, dengan cirinya selain agraris juga masyarakat yang di gumuli oleh mentalitet ndoroisme dengan dayang-dayang/kuli /batur. Budaya ini yang menyebabkan generasi keturunan bangsawan menjadi anak-anak yang manja, sedangkan keturunan rakyat kecil menjadi tidak mandiri, dan sangat bergantung kepada pemimpin (patron client). Kedua: Penjajah Belanda selama 350 tahun lebih memperdalam mentalitet ini dengan merendahkan derajad para pribumi sebagai warga nomor dua atau nomor tiga dalam konstelasi negara. Anggapan yang diterima begitu saja oleh rakyat Indonesia ini akhirnya membentuk karakter bangsa yang lebih menghargai, lebih menghormati bangsa lain daripada bangsanya sendiri. Hal ini nampak dari kecintaan anak-anak muda dengan produk-produk buatan luar negeri, lebih bangga jenis-jenis olah raga yang datang dari luar negeri daripada jenis olagraga milik bangsa sendiri yang tidak kalah hebatnya. Kita lebih bangga dengan karate, judo, taikwondo ketimbang silat yang sebenarnya tidak kalah hebatnya dengan olahraga tersebut. Ketiga: Tony Doludea di Jakarta, Jumat (16/3/2010) mengatakan karakter manusia Indonesia adalah mudah iri hati, picik, dan tidak menyadari solidaritas untuk tujuan bersama. Mereka juga suka memperoleh sesuatu secara instan, mengabaikan proses dan kerja keras, percaya terhadap klenik, dan tidak dapat menerima kekalahan. Ini bisa kita petik dari perilaku konflik di Papua hanya karena satu pihak membela kesebelasan Belanda dan pihak lain membela kesebelasan Spanyol di final piala dunia 11 Juli 2010, yang keduanya tidak ada hubungan emosional apapun. Konflik antar pendukung calon bupati/walikota, dan persaingan yang tidak sehat dalam kampanye Pemilu Calon legislatif 2009, di mana terdapat 6 orang yang bunuh diri dan 2 orang yang gila. Karakter manusia Indonesia, mulai dari politisi, akademisi, intelektual, pemimpin, tokoh agama, hingga orang awam dan rakyat miskin, kata Tony Doludea sedang berada di titik nadir. Kita seakan-akan bisa menerima dengan pasrah puisi Taufik Ismail yang bertajuk Malu (Aku) Menjadi Bangsa Indonesia. Musibah-musibah transportasi, bencana alam, dan kesalahan teknologi seperti kasus Lapindo, adalah rangkaian sejarah panjang ”ulah tangan manusia yang dibelenggu oleh keserakahan”. Teknologi yang dibangga-banggakan manusia ternyata banyak membawa bencana pada kehidupan manusia. Di bidang pertanian para petani sudah meninggalkan pupuk kandang, dan menggantikannya dengan pupuk buatan, sehingga lama kelamaan tanah menjadi keras dan tandus. Orang menciptakan insektisida sebagai pemunah hama, akibatnya banyak predator mati, binatang-binatang yang berguna bagi kehidupan petanipun ikut mati; sedangkan hamanya sendiri menciptakan resistensi atau kekebalan kekebalan baru atas insektisida yang telah dibuat para ahli itu, sehingga muncullah hama jenis-jenis baru yang kebal terhadap insektisida. Di bidang persenjataan, dahulunya diciptakan hanya sebagai alat pelindung terhadap binatang buas, dan pertahanan diri terhadap tindak kejahatan, kini senjata telah dibawa oleh para penjahat dengan bebas, teknologinya telah diadopsi penjahat, dan digunakan untuk merampok bank-bank, membunuh korban, disertai tindak kekerasan yang kadang-kadang disertai dengan cara-cara yang sadis. Celakanya senjata bahkan dipergunakan oleh negara adidaya sebagai pemunah peradaban, untuk mengebomi rakyat Irak dalam Perang Teluk, menembaki rakyat Palestina di jalur Gazza, dipergunakan untuk mengebomi rakyat sipil Afganistan yang tidak berdosa, dan kini dipergunakan kembali untuk menghancurkan peradaban di Irak yang justru menimbulkan perang saudara yang akan berkepanjangan sampai saat ini. Di bidang eksplorasi, pengeboran-pengeboran sumur minyak dan penggalian hasil tambang dilakukan di darat di laut, tanpa memperhatikan keseimbangan sistem, dan kelangsungan pembangunan (sustainable development), akibatnya seluruh isi bumi yang penting-penting dikeluarkan, minyak bumi, biji besi, emas, perak, timah, nikel, bauksit, batu-bara, gas alam, uranium, sehingga untuk kelangsungan hidup bangsa di masa mendatang tidak diperhitungkan lagi, sebagai contoh minyak bumi kita tinggal tersisa 18 tahun. Semuanya ini adalah karena manusia telah terseret kepada budaya profanistis yang tak terkendali. Kota-kota di Indonesia saat ini ibarat bangkai sampah raksasa, yang semua lapisan buminya dipenuhi dengan beton dan aspal, sehingga sudah tidak ada tempat untuk resapan air lagi, ekosistem sudah sangat terganggu maka ketika hujan datang, banjir pun melanda. Sungai-sungai yang dahulu jernih mengalir kini menjadi timbunan sampah-sampah jorok dan berbau, sehingga kemampuan ”sang sungai” membersihkan dirinya secara alami sudah tidak kuat lagi. Tanah dan pasir kita dari sekitar Bengkalis sampai Tanjung balai Karimun dikeruk, dijual untuk reklamasi pantai Singapura, sehingga negara Singapura semakin meluas, sedangkan perairan kita menjadi semakin mnyempit. Terumbu karang lautan yang indah-indah kini telah berpindah ke rumah-rumah mewah, berikut satwa dan burung-burung hutannya yang langka. Kini alam kita menangis karena ulah manusia yang tidak bertanggung-jawab. Belum lagi rumah-rumah kaca, dan gas-gas LPG yang telah merusakkan lapisan ozon kita. Di bidang informasi, rakyat kita telah diracuni melalui televisi, internet, koran, majalah, yang sarat iklan, telenovela, gosip, ceritera-ceritera fitnah, perselingkuhan yang tidak mendidik, dengan dominasi informasi Barat yang lebih banyak menyesatkan. Informasi yang menyuarakan “West is The Best”, budaya prafiguratif yang tanpa kontrol norma, sehingga hasilnya di negara kita adalah: (1) remaja kita sudah senang beralkohol karena tokoh-tokoh jagoan dalam film juga menenggak alkohol, (2) korban narkotika semakin merebak di mana-mana, (3) perempuan berpakaian ketat sekali, atau bahkan minim sekali sehingga sama dengan tidak berpakaian sehingga mengundang berbagai perbuatan asusila, lelakinya memakai anting, rambutnya dikucir, dengan jean belel, duduk-duduk di Mall, dengan menenggak soft drink, mereka kini semua sudah American style; (4) Perselingkuhan di negeri ini menjadi sangat marak terjadi di mana-mana; antara pejabat dengan bawahannya, antara teman sekerja, antar tetangga sungguh sangat mengerikan (5) pertunjukkan yang lebih mengeksploitasi bentuk tubuh wanita tidak hanya terjadi di kota-kota tetapi sudah merambah ke desa-desa. (6) remaja tani di desa-desa sudah tidak mau lagi ke sawah mereka terobsesi mencari pekerjaan di kota-kota, mereka berbondong-bondong pergi ke Ibukota, tanpa keterampilan. Akibatnya mereka menjadi polutan bagi kehidupan kota, mendirikan bangunan-bangunan di dekat rel kereta api, di lahan-lahan kosong yang seharusnya menjadi paru-paru kota, bahkan di bawah jembatan-jembatan layang; (7) prostitusi, bar, cafe-cafe, night-club semakin berkembang, dan semakin menjerumuskan peradaban manusia ke jurang yang lebih sesat. (8) Iklan-iklan televisi telah merubah kesantunan menjadi kesombongan dan kepongahan, semua kesuksesan saat ini parameternya adalah “harta” dan modal simbolik yang berupa kedudukan, dan gengsi. (9) Perbuatan baik remaja atau generasi muda tidak pernah diekspose di TV atau internet, tetapi perbuatan asusila dua atau tiga orang saja sudah menjadi highlight di setiap media; contohnya anak-anak Pramuka menanam lebih dari 1000 pohon bakai di pulau Nipah (pulau ter luar Indonesia) tidak masuk di berita nasional, tetapi sesosok Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari luar biasa perhatian publik, sehingga orang yang tadinya tidak tahu menjadi tahu. Anak-anak SMP, SMA, dan mahasiswa hampir semua pernah melihat film yang tidak senonoh, contoh yang menyesatkan, jauh dari nalai-nilai moral bangsa Indonesia. Di sini nampak bahwa media masih melakukan keberpihakannya bahwa bagi media ”bad news is good news”. Kebanggaan akan demokrasi liberal ala Barat telah menjerumuskan perilaku bebas yang tanpa kendali, demonstrasi yang bersifat memaksakan dan anarkhis, pengrusakan kantor-kantor, bangunan, pembakaran-pembakaran, bahkan sampai pemukulan-pemukulan sehingga menimbulkan meninggalnya seorang ketua DPRD Sumatera Utara. Hancurnya kampus di makasar, dan terbakarnya laboratorium olah mahasiswanya sendiri. Di bidang usaha terjadi penumpukan harta milik pribadi yang berlebih-lebihan, konglomerasi yang tidak memihak kepentingan rakyat banyak. Hak memperoleh perlindungan hukum yang digunakan oleh para koruptor kelas kakap dan para manipulator yang merugikan kekayaan negara, kekayaan rakyat, dan bahkan kekayaan peradaban. Mereka membeli hukum untuk melindungi kekayaannya, karena institusi hukum kita sangat rapuh, baik kepolisian, kejaksaan dan kehakiman masih menjadi tempat yang nyaman untuk perlindungan koruptor dn manipulator. Untuk menegakkan keadilan di Indonesia masih seakan-akan seperti menegakkan benang basah. Kebebasan yang tanpa kendali juga menimbulkan konflik-konflik: di tingkat elit politik, antar suku, antar golongan, antar sekolah, antar desa, antar agama, antar daerah perbatasan, konflik dalam tubuh satu agama bahkan antar angkatan yang frontal sehingga menimbulkan banyak korban, dan memecahbelah persatuan. Bangsa kita memang gudangnya teoritikus, yang nampak garang dan gagah manakala mendiskusikan dan merumuskan sebuah konsep, namun hampir menjadi nihil, bahkan bertotak belakang dalam pengaplikasiannya. Tidak sesuainya antara kata dan perbuatan adalah langkah awal bagi penjerumusan karakter. Pertanyaannya adalah kenapa hal ini terjadi? Akan lebih baik bila kita tinjau akar permasalahannya dari ketiga institusi pendidikan yang ada di negeri tercinta ini. Lembaga pendidikan keluarga sebagai lembaga pendidikan yang pertama dan utama saat ini tidak berfungsi dengan baik, dalam mendidik karakter bangsa. Orang tua saat ini sangat sibuk mencari nafkah, mencari kenikmatan, mencari terobosan-terobosan usaha sehingga melupakan kewajibannya dalam mendidik anak. Anak-anak di rumah tidak dididik untuk ulet, mandiri, tangguh dalam menghadapi kesulitan-kesulitan. Sebaliknya anak-anak dibiarkan menjadi anak-anak yang sangat tergantung, bagi anak-anak golongan menengah ke atas mereka dibiarkan tergantung kepada pembantu, bagi anak-anak kelas bawah mereka dibiarkan bergantung kepada lingkungan sekitar, dan bahkan bagi anak kelas terbawah mereka dibiarkan tergantung pada keramaian jalan raya dengan jual koran, menyemir sepatu, mengamen, bahkan mengemis, atau bekerja apa adanya secara tidak produktif. Orang tua sudah sangat mengandalkan pendidikan anaknya pada sekolah, di sinilah keakraban antara anak dan orang tua menjadi berkurang. Orang tua merasa bahwa tugas utamanya hanya membiayai anaknya untuk sekolah?? Di sinilah letaknya pendidikan karakter menjadi terabaikan. Hampir tidak terjadi orang tua berceritera tentang sejarah nabi-nabi, ceritera kepahlawanan, ceritera tentang budi pekerti luhur pada anak-anaknya menjelang anaknya tidur. Anak tidak dididik untuk sopan santun, padahal sopan santun adalah mata uang yang berlaku di dunia manapun. Akibatnya anak-anak menjadi tidak menghargai orang-tua, tidak menghargai guru, dan tidak menghargai orang yang lebih tua. Budaya profanistis ini mendidik anak-anak hanya menghargai kepada siapa yang memberi. Fenomena yang nampak adalah terjadinya pilkada di era demokrasi ini. Ketika terjadi pilihan walikota/bupati dan gubernur, ternyata kita tidak menghasilkan orang terbaik yang menjadi pemimpin tetapi hanya menghasilkan orang yang berani menonjolkan diri sebagai pemimpin. Dalam lembaga pendidikan formal di sekolah, terjadi hal yang sama dengan yang ada di lembaga pendidikan keluarga. Ternyata sekolah di negeri persada ini guru-guru dibebani bahkan dituntut oleh kurikulum yang sangat padat, sehingga guru-guru hanya mementingkan ”mengajar” dan tidak ”mendidik”, dalam mengajar guru hanya melakukan transfer of knowledge – transfer of skill, sedangkan dalam mendidik seorang guru harus mentransfer tiga ranah pendidikan yakni transfer of knowledge, transfer of skill, dan transfer of attitude. Inilah yang menyebabkan anak-anak hanya berkembang kecerdasan rasionya dan tidak berkembang kecerdasan emosional, spiritual, dan sosialnya. Guru hanya menanyakan tentang ”pekerjaan rumah” yang ditugaskan kepada anak muridnya, memeriksa hasil-hasil ulangan, dan tidak memeriksa sikap, tingkah-laku anak, atau karakter anak. Hasilnya adalah anak-anak tawuran di sekolah, anak-anak nyontek, bahkan guru-guru memberitahu kunci jawaban ketika terjadi ujian nasional. Banyaknya pembohong dan koruptor di negeri ini dimulai dari pembiaran nyontek, dan kecurangan di kelas. Dalam pendidikan non formal yang terjadi di masyarakat, nampaknya masih kurang efektif. Kursus-kursus yang short-term hanya memberikan skill agar orang mudah untuk memperoleh lapangan kerja. Lembaga-lembaga pendidikan agama yang aktif dalam mendidik karakter sedikit sekali jumlahnya, itupun belum bisa menanamkan jiwa persatuan dan kesatuan bangsa. Hasilnya adalah saling ejek, dan akhirnya terjadi konflik masal seperti yang terjadi di Maluku, ditambah lagi munculnya ajaran yang menyesatkan sehingga terlahir berbagai aliran-aliran yang bertolak belakang dengan syar’i. Olahraga yang sifatnya universal dengan biaya bertriliun-triliun telah menghasilkan fanatisme buta di kalangan pendukungnya sehingga melahirkan keberanian yang akhirnya melanggar peraturan yakni jatuh dari atas gerbong kereta api, melempari para penumpang umum, jajan tidak bayar, bahkan perkelahian massal cukup menelan banyak korban. Bagaimana solusinya? Pendidikan baik di lingkungan keluarga, di sekolah, dan di masyarakat seharusnya mendidik anak-anak untuk mengembangkan: Pertama, kecerdasan spiritual. Menurut Steven R. Covey dalam penelitiannya bahwa kecerdasan spiritual adalah dasar daripada kecerdasan lainnya. Manakala kecerdasan spiritualnya tinggi, maka kecerdasan lainnya akan mengikuti. Bagaimana anak-anak diajak patuh dalam menjalankan agamanya, bagaimana anak-anak diajak untuk melihat kebesaran dan kekuasaan Tuhan lewat ilmu pengetahuan (bukan lewat tahayul). Bagaimana anak-anak diajak khusu’ dalam berdoa. Selama ini anak-anak baru dikenalkan dengan ”ritual” nya agama, belum sampai menghayati kepada spiritualnya agama. Kedua, anak-anak diajak untuk cerdas emosionalnya. Anak-anak dilatih untuk mandiri, dilatih untuk cinta kerja, dilatih untuk tahan uji, dilatih untuk ulet dalam menghadapi segala rintangan dan tantangan. Hasil penelitian yang dilakukan di Amerika bahwa orang-orang yang berhasil ternyata adalah orang yang kecerdasan emosionalnya lebih tinggi daripada kecerdasan intelektualnya. Ketiga, anak-anak dilatih kecerdasan sosialnya. Bagaimana anak-anak learn to live together. Belajar menghargai orang lain, karena manusia sangat sulit hidup bahkan hampir tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Anak-anak dilatih tidak hanya bagaimana ia menerima, tetapi dilatih untuk baggaimana memberi, dilatih untuk menghargai orang lain, dilatih untuk menghargai pendapat orang lain, dilatih untuk menghormati orang lain. Jiwa individualistis (sebagai sifat dasar manusia) lebih dikurangi dan dibentuk jiwa kolektifnya, dibentuk kesadaran sosialnya, karena di dalam hidup bersama tadi ada learning to earn (belajar mencari nafkah), yang memungkinkan akan terjadinya gesekan kepentingan-kepentingan yang nantinya akan menimbulkan konflik. Gesekan kepentingan ini manakala dibingkai oleh kerangka kesadaran sosialnya maka akan mengarah kepada persaingan yang sehat, kompetisi yang produktif dan tidak menimbulkan permusuhan seperti yang marak terjadi saat ini. Di dalam learning to live together juga harus ditanamkan learning to serve, belajar untuk melayani sebagai hakekat dari kehidupan di masyarakat. Yang terjadi saat ini bahwa anak-anak selalu dibiasakan untuk dilayani sejak kecil dan tidak dididik untuk belajar melayani. Keempat, setelah kecerdasan spiritual, emosional, dan sosial maka anak-anak barulah dikembangkan kecerdasan intelektualnya. Kenapa saya meletakkan kecerdasan intelektual pada peringkat yang keempat, padahal di sekolah kecerdasan intelektual adalah berada pada skala prioritas yang pertama. Alasannya adalah manakala kecerdasan intelektual ini berkembang lebih dahulu dan tidak dilapisi oleh ketiga pengembangan kecerdasan yang tersebut di atas, maka akibatnya akan fatal dalam kesinambungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Naluri manusia untuk ingin tahu (learning to know) dan ingin melakukan sesuatu (learning to do) sudah ada sejak lahir, sehingga tidak perlu dinomorsatukan memang pada dasarnya anak-anak sudah menempatkannya diurutan pertama. Oleh karena itu pengembangan nalar harus diarahkan kepada sesuatu yang sifatnya normatif. Di dalam ajaran agama Islam kalau manusia belajar (iqra) itu harus dibingkai dengan nilai-nilai, dibungkus dengan norma-norma spiritual (bismi Rabbika). Banyak contoh kesalahan-kesalahan fatal yang dilakukan oleh para tokoh sosiologi yang hanya mengembangkan kecerdasan nalar tanpa dibungkus oleh kecerdasan spiritual, seperti halnya Karl Marx, Bertrand Russel, dan Nietche yang menyatakan Tuhan telah mati. Benar memang apa yang dikatakan Rene Descartes tentang Cogito Ergo Sum, dalam konsteks psikologis, tetapi dalam konteks sosial, konteks kemasyarakatan, hal tersebut tidak bisa dibenarkan. Kelima, perlunya dikembangkan kecerdasan fisik atau kinestetik. Olahraga yang baik, diperlukan untuk kesehatan dan kebugaran tubuh, serta ketahanan mental, dengan jasmani yang sehat akan terbina mental yang kuat. Oleh karena itu sedari kecil akan-anak hendaknya sudah dijauhkan dari merokok, yang nyata-nyata tidak bermanfaat bagi kesehatan. Dengan jasmani yang sehat keuletan, ketangguhan di dalam menghadapi sesuatu masalah akan terbina. Referensi: 1. Ahmad Husein Ritonga. Dr.,MA., 2002, Menggapai Ikhlas Dalam Ibadah dan Muamalah, CV Misaka Galiza, Jakarta 2. Alfian, 1989, The Impact of Television in Indonesian Villages, Dep. Penerangan RI, Jakarta 3. Azyumardi Azra. Prof. Dr., 1998, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta 4. Azyumardi Azra. Prof. Dr., 1999, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan fakta dan Tantangan, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung 5. Bobbi DePorter & Mike Hernacki, 2001, Quantum Learning, Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, (terjemahan,) Penerbit Kaifa, Bandung. 6. Bobbi dePorter, Mark Reardon, M.S., Sarah Singer-Nourie, MA., 2000, Quantum Teaching: Orchestrating Student Success (Terjemahan), PT Mizan Pustaka, Bandung 7. Burhanuddin, dkk., 1995, Profesi Keguruan, Penerbit IKIP Malang 8. Fisher. Aubrey. B., 1986, Rakhmat. Djalaluddin. (ed), Teori Teori Komunikasi, Penerbit Remaja Roda Karya, Bandung 9. Geertz. Holdred, 1981, Aneka Budaya dan Komunikasi di Indonesia, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta 10. Gloria Net, (2004), Dunia Anak: Jangan Remehkan Pengaruh Televisi, Jurnal Gloria Cyber Ministries, 2000-2004. 11. Gordon Dryden & Dr. jeanette Vos, 2000, Revolusi Cara Belajar, The learning Revolution, Bagian I & II, (terjemahan), Penerbit Kaifa, Bandung 12. Hajah Irene Handono, et al, 2004, Islam Dihujat, Menjawab Buku The Islamic Invasion (Karya Robert Morey), Edisi Revisi, Bima Rodheta, Kudus, Indonesia 13. Imam Al-Gahzali, 1997, Penyelamat dari Kesesatan (Terjemahan dari Al-Munqidz Minadh-Dhalal), Penerbit Risalah Gusti, Surabaya 14. Indra Djati Sidi, P.Hd., 2001, Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Paramadina & Logis Wacana Ilmu, Jakarta 15. Jalaluddin Rakhmat, 1993, Islam Aktual, Penerbit Mizan, Bandung 16. Jean Marie Stine, 2003, Mengoptimalkan Daya Pikir, Meningkatkan Daya Ingat Dengan Mengerahkan Seluruh Kemampuan Otak (Terjemahan), Delapratasa Publishing, Indonesia 17. Koentjaraningrat, 1992, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 18. Malinowski. Bronislaw., 1983, Dinamik bagi Perubahan Budaya, Dewan Bahasa, dan Pustaka Kementerian pelajaran, Kuala Lumpur. 19. Mel Siberman, 1996, Active Learning, 101 Strategies to Teach Any Subject, Temple University, USA 20. Paul Lengrand, 1984, Pengantar Pendidikan Sepanjang Hayat, Penerbit PT. Gunung Agung, Jakarta 21. Sadiman. Arief. S. (Jurnal PT JJ Volume 1.1. – 2004), Pengaruh Televisi pada perubahan Perilaku – beberapa Pokok Pikiran (Web-site: w.w.w. menegpp.go.id) 22. Taufiq Pasiak, 2003, Revolusi IQ, EQ, SQ, Antara Neurosains dan Al Qur’an, Mizan Pustaka, Bandung 23. Toto Tasmara K.H., 2001, Kecerdasan Ruhaniah (Transendental Intellegence), Penerbit Gema Insani, Jakarta 24. Hans-Dieter Evers, Editor A. Sony Keraf, 1988, Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta)

Sabtu, 14 April 2012

Seruling

Mengalun di desa yang sunyi, Bersama sang bayu yang berdesah.., Mengalir indah bagaikan riak-riak kehidupan, Suara seruling itu bertegur sapa, Halus...., Lirih....., Menggema...., Suara seruling itu, bertutur tentang sejarah, tentang rakyat jelata, tentang petani, tentang pengembara, tentang para senopati, dan juga berkisah tentang raja-raja. Ia merajut kelembutan Suara seruling bambu yang merdu, berjabat rasa......., berjabat kalbu. Walau dia hanyalah bambu kecil, Tapi dia mendegupkan jantung pendengarnya, Dia membuat kita manja, Dia membuat kita lega, dia punya makna............., Ketika untaian nada-nada yang tersusun dirangkai para pujangga, Suara seruling itu bagai suara seorang guru anindita, Lagumu mengalunkan cinta para Pembina kepada adik-didiknya. Memberi pelajaran kehalusan budi, Mengajarkan kecintaan terhadap sesama, Mengajarkan cinta alam dan semesta isinya, Biarkan ia terkadang bersuara sendu, ia ingin menyuarakan tembang rakyat, yang tertindas, menyampaikan pesan kepada pejabat, kepada narpati, Karena besuk pagi ia akan menyuarakan semangat rakyat, Karena besuk pagi ia mendendangkan suara gembira, Menyemangati orang-orang miskin untuk bergiat mengolah sumberdaya, Karena para penindas akan engkau sadarkan, Karena para pejabat akan engkau tanamkan rasa cinta kasih. Seruling, biarlah engkau tetap menjadi seruling, Karena engkau bukan hanya bambu biasa, tapi kamu buluh perindu, Karena kamu penerus budaya terindah bangsaku. Karena engkau akan menyuarakan kasih sayang sepanjang masa.

Gubug

Kecil, mungil, menyendiri, Tegak, mandiri, di tengah sawah, Tempat berlindung petani, menjaga padi, Tempat berlindung siapa saja yang melewatinya, Gubug bukan rumah megah di tengah kota, Karena rumah megah itu hanya dipakai sendiri untuk yang punya, Gubug bersifat terbuka, ia membiarkan angin berhembus dari arah mana ia suka, Gubug sederhana, dan berjiwa sosial, Gubug membawa ketenteraman dan perdamaian, bagi siapa saja yang menyambanginya. Sebagai Pembina biarlah kita kecil, Tetapi bersih apa yang kita pikirkan, Jelas apa yang kita lakukan, Ikhlas apa yang kita kerjakan, Damai apa yang kita timbulkan.

Sang Penabur

Andaikan alam selalu ramah walau diperlakukan oleh manusia sesuka hatinya, Andaikan manusia tidak pernah merasa menderita walau disakiti, diperas, diperbudak, ditindas oleh manusia lainnya, Andaikan keluhuran budipekerti manusia adalah lilin cair yang mudah kita bentuk, Andaikan tangan kami dapat menjangkau seluruh bumi Nusantara, dan mampu mengubah manusia serta tatanannya seperti yang tertera pada adi cita bangsa, Andaikan manusia senantiasa mengamalkan dasadarma kita. Maka tak perlu ada aku berdesis panjang di sini, Tak perlu pula ada engkau tertegun mendengar ungkapan hati ini di situ, Ketika tarikan nafas panjang mengisi rongga, dari udara yang disediakan Sang Khaliq untuk kita, Biarkanlah hatiku, hatimu melebur mencari relung kebenaran, Mengalir ke muara hening bersama riak kesadaran, Seribu langkah berderap, Seribu tunas tumbuh, Dari tangan-tangan kita para Pembina Pramuka, Tak perlu sejarah mencatat apa yang kita perbuat, Namun kita terus berkutat, Sampai jantung tiada berdetak Barangkali, apakah kami cukup pantas, sebagai sang penabur, Biar sampai batas umur, Kami telah dan akan terus membentuk kader umat secara teratur, ... bagaikan ombak samudera yang senantiasa berdebur.

Ilalang

Dalam lingkaran ini hilangkanlah dahagamu, Dalam lingkaran ini hilangkanlah dukamu, Dalam lingkaran ini raihlah kebanggaanmu, Karena kita telah menjadi rantai dan jeruji satya dan darma, Kita telah ikatkan tali persaudaraan, kita telah getarkan semangat berkorban, Hilangkan niat buruk kita, yang hanya memikirkan pujian karena pekerjaan yang telah kita lakukan, Mari kita tarik benang sebab akibat, Kesuksesan kita, bukan karena kita sendiri, Tetapi karena pekerjaan teman-teman lainnya, Jangan risau ketika bukan engkau yang dihargai, bukan engkau yang dielukan, Karena Tuhan melihat, tangan kita telah bekerja melalui kebenaran yang difirmankannya, Karena Tuhan melihat tangan dan jiwa kita telah meluruskan langkah-langkah mereka, Ada yang kecewa, ada yang tidak suka, ketika kita telah mencapainya, Tapi itu hal biasa, karena mereka masih manusia biasa, Terkadang ia iri, dengki, kemudian mengadu yang bukan-bukan kepada atasan kita,... biar dia dianggap yang paling setia, dan paling berjasa. Teruslah berjalan, karena dia bukan siapa-siapa, dan bukan apa-apa. Teruslah berjalan walau kegelapan menghadang, Karena kita yakin kita telah menuju cahaya-Nya, Waktu dan tempat akan menunjukkan siapa mereka, Karena mereka adalah benalu kehidupan, benalu Gerakan Pramuka, yang mencari hidup dan keuntungan pribadi karenanya. Tapi kamu adalah ilalang-ilalang yang tidak bisa ditempeli benalu itu, Kamu tetap akan bertahan walau kader-kadermu dicabut, dicampakkan, Walau namamu dibusukkan, kamu akan terus menurunkan generasi ilalang yang punya rasio dan rasa. Generasi ilalang yang punya budi dan nurani. Biarlah kamu dipandang rendah, Biarlah kamu dipandang kecil, Karena kamu hanyalah ilalang, Kadang kamu dibakar, Kadang kamu dinjak-injak, Tapi tak ingatkah bahwa kamu lebih sering dijadikan atap untuk berteduh, memayungi mereka?; Tak ingatkah bahwa kamu lebih sering dijadikan alas tidur, ... untuk Pramuka pengembara, Biarlah dalam perkaderan ini engkau tetap menjadi ilalang, yang senantiasa meneruskan generasimu, Biarlah sang bayu bertiup menggontai dahan dan bungamu, Biarlah sang angin sahabatmu itu, menaburkan bungamu ke tempat lain, karena di sana tunasmu akan tumbuh. Kita tidak malu sebagai ilalang di tempat yang rendah, Karena seharusnya ada orang-orang yang malu menjadi benalu di tempat yang tinggi. Iklas bakti bina bangsa ber budi bawa laksana. Amin.

Lingkaran Persaudaraan

Ketika kami tegak di sini…., melingkari bongkahan bara unggun yang mulai padam, kami … bagaikan tiang-tiang bayangan hitam Suatu bentuk yang sangat rapuh….., mudah goyang tertiup arah cahaya nafsu. Tetapi ketika tangan-tangan ini semua kita pertautkan….., Kita bentuk rantai persaudaraan yang kokoh….., Kita dapat merasakan denyut jantung saudara-saudaraku di sebelah kiri dan kanan.., Bahkan….., ketika jiwa kita lebih hening….., kita rasakan degup-degup seluruh jantung kehidupan saudara-saudaraku seluruhnya dalam lingkaran ini. Lingkaran persaudaraan…..telah kita bentuk, kami ini bagaikan mata rantai……, yang satu sama lain saling memperkuat, …..satu sama lain saling memberikan arti. Letak rantai yang terlemah adalah rantai yang merasa dirinya terkuat. Kini kami bukan bayang-bayang lagi……, tetapi kami unsur kehidupan yang memiliki arti. Kami ini mata rantai Republik ini……., kami ini garda terdepan perekat ikatan persatuan anak negeri. Kami tidak pernah peduli terdiri dari suku apa mata rantai ini….., terbuat dari agama apa mata rantai ini, terdiri dari golongan kaya atau miskin, ksatria ataupun sudra kami tidak pernah peduli. Kami telah menyatu….., Kami adalah tonggak merah-putih negeri ini. Dengarlah detak hati nurani kita yang terdalam……, biar bumi ini terbelah sungai bumi, atau laut, benua atau samudera ……kita tetap satu darah. Kita harus menjadi darah terbersih dari bangsa ini, yang bisa mencuci darah-darah kotor yang telah salah bekerja…., darah kotor yang telah letih dan lemah. Kami ini darah-darah segar generasi yang senantiasa beredar, mengalir menurut hukum negeri ini…….. menyelesaikan sisa peredaran hidup menurut janji dan ketentuan moral……satya yang terpateri dan diamalkan, darma yang teguh dan dibaktikan.

Peningkatan Diri Pembina

Ketika kita diam menenangkan jiwa sejenak, …..lalu bertanya dalam diri. Untuk apakah aku datang ke tempat ini, dengan meninggalkan tugas dan pekerjaanku; bahkan meninggalkan keluargaku, kekasihku, isteriku, suamiku, dan anak-anak tercinta, dan tersayang. Apakah aku datang mengikuti bagian ini hanya sekedar ingin berkumpul dengan orang banyak? Bukan….! Tujuanku sudah jelas, untuk membina diri, meningkatkan diri agar menjadi pembina dewasa. Berusaha menimba ilmu pengetahuan, keterampilan, meningkatkan kualitas perilaku. Aku ingin menjadi dewasa, dalam tutur-kata dan perbuatan, dewasa dalam tindak-tanduk, cita, rasa, karsa, dan karya. Pembina yang bisa dijadikan seri-tauladan. Pembina yang dapat mengendalikan emosi, menyadari sepenuhnya perbedaan sikap dan perasaan yang dimiliki setiap manusia. Pembina yang dari sinar mata dan hatinya selalu memancarkan kasih sayang. Sebuah harapan…….yang kudambakan…. Andaikan aku tidak mungkin menjadi pucuk cemara di puncak bukit sana, biarlah saya menjadi perdu di sisi bukit. Bila tidak dapat menjadi perdu yang baik di sisi bukit, biarlah saya menjadi rumput yang menghiasi jalan raya, atau tumbuhan rambat yang sedap dipandang mata bangsa. Namun andaikan aku tak kuasa menjalani sebagai tumbuhan rambat biarlah akau menjadi serat yang terkuat, yang bisa dianyam menjadi tali persatuan umat. Memang tidak semua kita jadi nahkoda, karena siapakah nanti yang akan menjadi awak kapal. Setiap orang memiliki perannya masing-masing, ada peran yang besar dan ada yang kecil. Ada tugas besar, ada tugas kecil, namun semua tugas adalah mulia bila kita kerjakan dengan sebaik-baiknya. Bila tidak bisa menyelesaikan tugas lewat jalan tol, jadilah kami meniti jalan setapak. Bila tidak bisa menjadi mentari dalam memberikan keadilan, biarlah jadi kita bintang. Berhasil dan gagal dalam tugas sebuah ukuran, tetapi apapun jalan kita ….. jadilah yang terbaik.

Bacalah

Tuhan itu Maha Sempurna, seluruh ciptaannya merupakan perangkat yang sempurna, Tiada bagian yang lebih dan tiada bagian yang kurang. Seluruh ciptaannya dengan segala bagian-bagiannya berjalan tanpa henti menurut hukum yang diciptakanNya pula. Demikianlah kita harus berusaha, yakni bekerja sesempurna mungkin, makin hari makin lebih baik dari saat yang lalu, justru karena kita tahu bekerja yang demikian itu adalah cara bekerja yang dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kita bekerja untuk perikemanusiaan, untuk nusa dan bangsa kita, karena sikap dan pendirian kita adalah bekerja dan beribadah. Sebagai persembahan bakti kita terhadap bangsa dan negara dengan ridho Tuhan Yang Maha Esa. Seperti juga sebuah perangkat arloji, tiada bagian yang lebih, tiada pula bagian yang kurang penting, demikian pulalah halnya, dengan pekerjaan kita manusia dalam irama gerak perangkat hidup bersama. Pekerjaan yang manapun juga, dan apapun juga, baik rendah maupun tinggi, kecil maupun besar, yang memerlukan kecerdasan intelektual yang tinggi maupun yang rendah, selama pekerjaan itu kita lakukan menurut hukumnya, maka pekerjaan itu tak ada yang kurang berharga, ataupun tidak penting, tiada yang hina ataupun yang rendah; karena pekerjaan itu seluruhnya merupakan bagian dari perangkat yang besar.

Darma Bakti

Pekerjaan pembina adalah: Darma Bakti, …Darma Bakti untuk kepentingan orang lain, yaitu kepentingan anak-anak didik kita, untuk kepentingan tanah air dan bangsa kita serta kepentingan perikemanusiaan. Pekerjaan darma bakti yang kita lakukan itu adalah berdasarkan keyakinan kita, bahwa jalan darma bakti yang kita tempuh ini adalah jalan yang baik dan benar, yang berharga dan bermutu tinggi sebagai sesuatu ibadah kita terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Darma bakti adalah darma yang dibaktikan, Darma bakti adalah perbuatan baik, Kita memberikan dengan tulus hati tanpa mengharapkan upah, ataupun balasan apapun juga, untuk maksud dan tujuan yang baik. Dalam melakukan darma bakti, sering terjadi pertempuran dua macam pada daya positif dan negatif dalam rohani manusia. Tingkatkan daya rohani yang positif, dan amalkan dalam darma bakti di bawah kendali “satya dan darma Pramuka” agar dapat berkah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Manusia Dan Alam Adalah Kesatuan

Alam semesta adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang telah lengkap dan sempurna hukum-hukumnya. Hukum alam ini akan tetap berlaku dan berjalan selama alam ini masih ada. Berbuatlah secara baik dengan tulus dan jujur, sebab yang baik berakibat baik, dan yang buruk berakibat buruk. Alam semesta dengan segenap isinya adalah lengkap tiada bagian yang kurang, dan tiada bagian yang lebih; baik yang nyata dapat dilihat maupun yang tak dapat dilihat dengan indera atau alat yang bagaimana pun juga. Otot lengan manusia adalah benda yang dapat kita lihat nyata dengan mata kepala; tetapi kekuatan lengan dan kekuatan otot yang ada di dalamnya tidak dapat kita lihat. Uang dan benda lainnya dapat kitalihat tetapi kekuatan, keinginan, kehendak, tidak dapat kita lihat. Mungkinkah kita melihat Tuhan dengan mata-kepala kita? Sedangkan kita melihat kekuatan yang berada di lengan kita saja kita tidak bisa. Barang sesuatu yang kita lihat berdasarkan hukumnya adalah jika kita mengambilnya haruslah kita tarik pada diri kita sendiri, menyimpannya dan memeliharanya baik-baik. Tidak demikianlah halnya tentang barang sesuatu yang tak dapat dilihat. Ia bertambah besar dan kuat jika senantiasa kita keluarkan, kita praktekkan, kita lepas, dan kita berikan pada orang lain. Ia adalah ilmu dan amal. Tambahkan dan perbesarlah kekuatan lenganmu dengan jalan mengeluarkan tenagamu diwaktu berlatih mengangkat barang yang berat. Tambahkan dan perbesarlah kekuatan budi kita kepada orang lain, kejujuran kita, kesetiaan kita, rasa persaudaraan kita, kesopanan kita, keperwiraan kita, rasa sayang kita terhadap sesama hidup, dengan jalan memberikan segenap kebaikan budi kita kepada orang lain, karena hanya dengan jalan itulah kita dapat menambahnya dan melimpahkannya.

Filsafah Padi

Filsafat padi menunjukkan kepada kita, makin berisi makin merunduk. Mari kita tundukkan kepala, kita teropong pribadi kita masing-masing sesuai dengan pertanggungjawaban yang ada pada diri kita. Pembina adalah manusia dewasa, yang diharapkan dapat memberi bimbingan tuntunan, pengawasan dan pemberi arah perkembangan generasi muda. Pembina adalah orang yang dewasa dalam tindak, dewasa dalam pikiran dan perkataan; karena ia telah dewasa cipta, rasa, karsanya. Dewasa dalam “cipta” berarti seksama dalam menggunakan pertimbangan-pertimbangan nalarnya, dan bijaksana dalam menetapkan keputusannya. Dewasa dalam “rasa” berarti dapat menguasai nafsu perasaannya dan menyadari sepenuhnya perbedaan-perbedaan perasaan yang dimiliki tiap-tiap manusia. Ketertiban dan ketenangan hidup bersama hanya akan terjamin dan terpelihara, apabila tiap-tiap anggotanya saling menghargai perasaan orang lain, meskipun perasaan tersebut berbeda dengan perasaannya. Dewasa dalam karsa berarti matang dan mantap kemauannya dan tidak mudah terombang-ambing oleh gejolak dunia. Kemantapan kemauan ini dilandasi oleh keuletan tekad untuk menegaskan kebenaran di jalan Tuhan. Pembina dewasa adalah mereka yang besar tanggung-jawabnya sebagai manusia individu, sebagai manusia sosial, dan sebagai makhluk Tuhan. Sebagai individu ia tidak ingkar akan suara hati-nuraninya. Sebagai makhluk sosial berusaha menjadi tauladan sesama dan pelopor perkembangan bangsanya. Sebagai makhluk Tuhan adalah mematuhi ajaran-ajarannya. Mari kita tengadahkan kepala kita, Jauh di sana berdiri ratusan, ribuan anak didik. Binalah mereka sebagai “ksatria” dan “puteri sejati”, seperti dilukiskan oleh para Pembina. Di sanalah ia berdiri…, sopan…dan tenang…. Tetapi tegak seakan-akan memerintah, mulutnya tersenyum simpul ramah-tamah, tetapi teguh.

Belajar Lebah_^

Renungan: • Jadikanlah hidup kita seperti LEBAH, dimana LEBAH tersebut hinggap selalu memberikan manfaat bagi kehidupan. Jangan seperti LALAT yang selalu menyebarkan keburukan bagi kehidupan dimana LALAT tersebut hinggap. • Manusia BIJAK adalah manusia yang selalu mendahulukan LOGIKA didalam melihat dan menyelesaikan masalah, karena LOGIKA adalah ciptaan ALLAH/Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan manusia BODOH adalah manusia yang selalu mendahulukan EMOSI didalam melihat dan menyelesaikan masalah, karena EMOSI adalah ciptaan SETAN.

Renungan Hari Baden Powell 2012



Saya akan menyampaikan kunci sukses saya kepada anda
bagaimana saya bisa hidup dengan bahagia sampai sekarang
di usia saya yang ke 80.

Kuncinya adalah
Saya selalu berusaha melaksanakan Satya dan Darma Pramuka
dalam perilaku saya sehari-hari

Jadi kalau ingin anda hidup sukses seperti saya
Terapkanlah Satya dan darma Pramuka dalam kehidupanmu

Kakak-kakakku,
Itulah kalimat yang diucapkan oleh baden Powell
Amat sederhana tetapi sulit diterapkan

Saat ini semua petinggi negeri kita
membicarakan karakter bangsa
Semua merasa bahwa saat ini bangsa kita
telah kehilangan karakter itu

Korupsi merajalela, kejujuran menjadi langka
Rasa pesaudaraan semakin menghilang
Berganti saling curiga

Seringkali kita melihat tawuran terjadi
hanya karena masalah sepele
Dekadensi moral,penggunaan narkoba semakin marak

Inikah wajah negeri kita?
Kemana negeri yang dulu terkenal dengan keramahannya?
Apakah kita sudah tidak dapat berharap
Negeri ini kembali seperti sedia kala?

Jangan, Jangan pernah berhenti berharap!

Kakak-kakakku,
Ada sebuah kisah
Percakapan empat buah lilin yang terangi sebuah ruangan

Dalam hening
Hening dan sepi
Lamat-lamat terdengarlah percakapan mereka

Lilin pertama berkata
Aku adalah damai
Tapi manusia tak mampu menjagaku
Maka lebih baik aku mematikan diriku
Tak lamakemudian matilah lilin pertama

Lilin ke dua berkata
Aku adalah iman
Tapi aku tak berguna lagi
Manusia tak mau mengenalku
Tak ada gunanya ku tetap menyala

Maka matilah lilin ke dua

Lilin ke tiga berkata
Tak mampu lagi aku untuk menyala
Manusia tak lagi menganggapku berguna
Saling membeci bahkan membenci mereka yang mencintainya
Membenci keluarganya

Maka matilah lilin yang ke tiga

Tepat pada saat itu,masuklah seorang anak
Melihat ke tiga lilin telah padam
Apa….apa yang terjadi??
Kalian harus tetap menyala!
Aku takut kegelapan!
Lalu ia menangis tersedu-sedu

Lilin ke empat terharu mendengar tangisan anak tadi dan berkata
Jangan menangis
Jangan takut
Selama aku masih menyala
Kita dapatmenyalakan ke tiga lilin itu
Karena aku adalah harapan

Dengan mata berbinar
Sang anak mengambil lilin harapan
Lalu menyalakan kembali ke tiga lilin tadi
Ruangan itu kembali terang seperti sediakala

Kakak-kakakku,
Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari kisah itu?

Dalam situasi bangsa yang sedang carut marut ini
Kita sebagai anggota dewasa Gerakan Pramuka
Harus siap menjaga harapan yang diembankan oleh pemimpin bangsa kita:
Gerakan Pramuka wadah pendidikan karakter bangsa.

Sudah menjadi tugas kita
Untuk menjaga agar lilin harapan tidak padam
Dan menjadipelopor untuk menyalakan lilin lilin yang lain.

Dengan cara apa kita melakukannya?

Jawabnya hanya Satu
Kita harus mampu menjadi teladan bagi generasi muda
Karena penanaman karakter yang terbaik adalah
Melalui keteladanan

Mampukah kita menjadi teladan?

Kita pasti mampu asal kita mau melaksanakan
Apa yang diucapkan Baden Powell
“Menerapkan Satya dan darma Pramuka dalam perilaku kita sehari-hari”

Dengan begitu,
Kita akan siapmenjadi teladan
Dengan begitu
Kita bias menjadi lilin harapan
Yang setiap saat dapat menyalakan
Lilin iman, lilin cinta, lilin damai, dan lilin lilin yang lain
Sehingga bangsa ini akan kembali
Menjadi bangsa yang cinta damai,
Sejahtera, adil dan makmur
Serta penuh kasih sayang

Jakarta 22 Februari 2012